
Mustika Rasa : Negara & Masakan (Indonesian Heritage Recipe Collections) - Prestasi Dua Presiden Indonesia
Banyak masakan di Nusantara, tetapi minim sekali pencatatan mengenai hal itu. Sejarah kuliner negeri ini menjadi sulit digali. Kondisi ini berbeda dengan negara tetangga, Filipina, yang memiliki banyak catatan tentang sejarah kuliner mereka. Akan tetapi, buku resep masakan yang muncul sejak zaman Hindia Belanda bisa membantu kita melacak sejarah kuliner Tanah Air meskipun tidak tampil secara significant mengingat bercampur baur dengan aneka resep makasan Eropa (Belanda).Pada 1967 tak bisa dipungkiri sebuah buku masakan Indonesia diterbitkan dan menjadi bukti prestasi tertinggi dalam pengumpulan resep-resep legendaris masakan Nusantara. Disini dimulai sejarah Negara terlibat dalam urusan masakan nusantara.
Buku itu berjudul "Mustika Rasa" (Departemen Pertanian, 1967) yang memuat resep-resep masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Buku setebal 1123 halaman adalah warisan sejarah dari masa Orde Lama dan Orde Baru. Perintah Soekarno untuk menerbitkan “kookboek” atau buku masakan bisa diwujudkan setelah 7 tahun. Pengumpulan dan penyusunan buku ini cukup lama, yaitu sejak tahun 1961 - 1966 dan diterbitkan pada tahun 1967.
Buku Mustika Rasa diterbitkan dalam rangka diversifikasi, intensifikasi dan ektensifikasi pangan untuk seluruh daerah indonesia dan juga pemenuhan sumber gizi.
Ide pembuatan buku digulirkan tahun 1960 di masa Orde Lama dan disajikan resmi sebagai buku tebal di masa Orde Baru. Dua penguasa boleh “berseteru” tapi urusan makanan membuat Soekarno dan Soeharto bisa “akur”. Kedua Presiden menempatkan makanan dalam agenda pemerintahan mereka masing-masing.
Proyek buku itu dimulai ketika Menteri Pertanian Brigjen dr Azis Saleh bertemu Presiden Soekarno. Dalam memo Aziz Saleh (12 Desember 1960) selaku menteri pertanian memuat informasi hasil percakapannya dengan Soekarno sebagai berikut:
“Sesuai suatu pembitjaraan saja dengan Presiden Soekarno, maka supajalah Lembaga Teknologi Makanan nanti diberi tugas untuk menjusun suatu ‘kookboek’ jang lengkap untuk seluruh Indonesia. Maksud pokok ialah supaja ‘kookboek’ itu merupakan penundjuk djalan bagi rakjat Indonesia didaerah manapun, bagaimana bahan-bahan makanan jang terdapat didaerahnja itu dapat diolah mendjadi makanan lezat jang berfaedah”
Soekarno dan Aziz Saleh mengurusi masakan demi kepentingan negara. Soekarno tidak cuma sibuk mengumbar slogan revolusi dan berpidato politik. Urusan makanan ada di nalar ideologis Soekarno yang diutarakannya sebagai berikut : "Makanan bisa menjelamatkan walau revolusi belum selesai.”
Soekarno & Soeharto adalah negarawan besar yang sewaktu mereka menjabat sebagai Presiden masih sempat mengurusi, memikirkan dan meletakkan dasar pemikiran mengenai masakan demi “kelezatan” dan kemaslahatan bagi “rakjat”.
Cerita Indonesia di masa tahun 1960-an tidak melulu soal partai politik, militer, nasakom, demokrasi terpimpin dan lain sebagainya. Ada tema makanan di masa itu yang menempatkan ideologi makanan dalam agenda revolusi dan pembangunan.
Impian Soekarno menjadi terang benderang di tahun 1964. Kumpulan resep masakan sudah tersusun untuk diterbitkan menjadi buku. Menteri Koordinator Pertanian dan Agraria Sadjarwo (17 Agustus 1964) menulis:
“Keluarnja ‘Buku Masakan Indonesia’ ini sesuai dengan pesatnja kemadjuan tingkat kebudajaan bangsa kita. Hampir semua penduduk dapat membatja dan karenanja mereka haus akan pengertian dan petundjuk jang dapat memberi manfaat bagi kehidupan sehari-hari.”
Nalar politis antar rejim Orla dan rejim Orba bisa berbeda, namun terkait masakan bisa seiring sejalan. Bisa dikatakan Orde Lama dan Orde Baru bertemu dalam buku masakan kuliner Indonesia. Sutjipto selaku menteri pertanian menerangkan:
“Bergunanja bagi rakjat, jang merupakan sasaran pokok dengan diterbitkannja buku masakan ini, akan mempunjai pengaruh dan pendorong jang kuat kepada Departemen Pertanian dan petani pada umumnja untuk lebih giat meningkatkan produksi pertanian, chususnja produksi pangan. Dengan demikian buku masakan tersebut, dapat pula memenuhi fungsi untuk menghubungkan petani produsen dengan konsumen.”
Orde Lama dan Orde Baru bertemu dalam sebuah karya besar. Kerja besar atas nama negara yang dirintis semasa revolusi dapat melintasi malapetaka 1965. Perintah Soekarno terwujud dan Soeharto sanggup membuat ideologisasi makanan demi kemajuan Indonesia. Mereka telah berjasa. Mereka penguasa tenar tapi tak menampik makanan sebagai rujukan ideologis.
Dalam membuka isi buku ini kita bisa serta-merta berfikir alangkah hebatnya negeri Indonesia. Bisa dikatakan, catatan buku ini punya sejarah yang lumayan menggentarkan, dan ternyata visi Bung Karno menjadi amat jelas dan nyata bahwa dia tak mau lidah dan perut bangsa Indonesia ini terjajah.
Harsono Hardjohutomo sebagai ketua panitia buku masakan Indonesia memberi penjelasan-penjelasan gamblang:
“Menulis suatu buku masakan membawa banjak risiko. sebab disamping pembatja-pembatja jang memudji, akan terdapat banjak orang-orang jang mentjela. Untuk menormalisasikan imbangan antara pemudji dan pentjela, kita menempuh djalan jang exact, jaitu dengan penelitian-penelitian di laboratorium.”
Harsono Hardjohutomo di aliena terkhir mengakui:
“Meskipun telah terkumpul kurang lebih 1600 resep masakan, buku ini belum dapat dikatakan lengkap dan tiap kritik, tambahan atau perbaikan akan diterima dengan segala senang hati.”
Pengakuan dan tantangan Harsono Hadjohutomo membuktikan bahwa buku Mustika Rasa adalah pertanggungjawaban besar demi negara dan bangsa sebagai pusaka warisan tradisional kuliner Indonesia. Dari ke-1600 resep masakan itu, Indonesia mesti mendirikan Universitas Makanan Indonesia agar warisan ke-1600 resep itu bisa disajikan ke publik. Warisan itu bakal terus bertambah dengan melacak resep-resep masakan lainnya dari pelbagai pelosok kota dan desa.
Mustika Rasa menjadi rujukan identitas makanan ke-Indonesian kita yang selama ini mungkin disepelekan dari menjadi Indonesia. Buku ini mampu merestorasi gambaran resep-resep masa lalu yang luput dari amatan kita dan kemudian mengolahnya menjadi sebuah gambaran yang mengasyikkan tentang identitas ke-Nusantara'an kuliner bangsa Indonesia.
Para perumus berhasil meramu sebuah tulisan mengenai kebijakan negara pada jaman Soekarno, yang kemudian dilanjutkan di masa awal kekuasaan Soeharto, mengenai masakan di dalam Negara.
Catatan “kookboek” atau buku masakan itu juga membawa kita ke masa lalu, di saat negara atau sebutlah Soekarno & Soeharto - bukan terlalu ikut campur kepada hal yang kelihatannya remeh-temeh - menganggap bahwa kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak mungkin tidak harus juga membicarakan kekayaan [dan mungkin kebanggaan dari] masakannya.
Ada sedikit perbedaan memang mengenai cara pandang semangat yang digegapkan Soekarno di dalam ide penyusunan kookboek Mustika Rasa ini dengan semangat yang diinduksikan Soeharto. Pada jaman Soeharto, buku masakan ini diubah perspektif ideologisnya menjadi sesuatu yang diniatkan untuk memberi dorongan kepada petani di dalam meningkatkan produksi pangan.
Kita sepakat bahwa Soekarno dan Soeharto mempunyai jasa bagi negara ini, karena mereka berdua mempunyai kontribusi terhadap ideologi Indonesia, atau mungkin terhadap ke-Indonesiaan bangsa ini secara utuh bahkan pada hal yang mungkin dilupakan dari bincang - berbincang mengenai identitas nasional mengenai masakan. Tidak bisa dipungkiri untuk tidak mendua bahwa buku Mustika Rasa adalah warisan sejarah bangsa Indonesia. Buku ini adalah sebuah sumbangsih Soekarno dan Soeharto yang bisa menjadi rujukan mengenai ke-Indonesiaan kita dalam hal masakan.
Buku ini memberi signal, karena Presiden-Presiden sesudah Soekarno dan Soeharto nampaknya kurang melihat diskursus identitas ke-Indonesiaan yang harus disadari di dalamnya juga meliputi masakan sebagai simbol nasionalisme. Inspirasi pemahaman terhadap Mustika Ratu menggoda perubahan cara pandang kita bahwa negara dan masakan adalah satu kesatuan dari sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia; dan pastinya berhasil diangkat oleh kedua Presiden itu menjadi ciri indentitas dan jati diri Bangsa.
Kelahiran buku Mustika Rasa mengingatkan bahwa makanan bukanlah diartikan sebagai seremoni kenegaraan saja. Ada pesan yang dalamnya mengenai semangat mengabdi, berbakti, tidak melupakan sejarah, dan bangga atas “Nasionalisme Gastronomi” Indonesia-an.
Sekali lagi, kehadiran kookboek Mustika Rasa mengenai “Negara & Masakan” menyadari kita mengenai penguasa sekarang yang melupakan hal-hal kecil - seperti masakan - sebagai rujukan totalitas ideologi, nasionalisme dan canang identitas ke-Indonesiaan.
Ekspresi seorang pemimpin atas nasionalisme dan sejarah tidak boleh dilupakan. Soekarno & Soeharto telah menunjukkan bukti tersebut, khususnya kontemplasi mereka untuk mendirikan Lembaga Teknologi Makanan & Universitas Makanan Indonesia. Tidak berlebihan tetapi bisa dikatakan solilokui atau senandika Mustika Rasa berhasil membentuk tutur, suara pikiran, hasrat dan perasaan karakter kedua Presiden mengenai "Negara dan Masakan".
Buku Mustika Rasa adalah warisan (sejarah) masakan di Indonesia. Mustika Rasa merupakan bukti prestasi tertinggi dalam pengumpulan resep-resep masakan Nusantara. Kookboek Mustika Rasa merupakan satu-satunya dokumen resmi negara mengenai catatan makanan Indonesia. Negara perlu merawat dan menjadikan buku ini sebagai fondasi kebijakan masakan di Indonesia, khususnya dalam memperdalam nilai budaya gastronomi-nya.
Seperti diketahui Mustika Rasa baru mencatat 1600 resep, sedangkan almarhum ibu Suryatini Ganie dalam bukunya "Mahakarya Kuliner" telah mencatat 5000 resep. Kalau rata-rata dibagi menurut jumlah suku di Indonesia yang tercatat sebanyak 1,340 di berbagai daerah, maka di buku "Mustika Rasa", per setiap suku Indonesia mempunyai 1,2 resep sedangkan di buku "Mahakarya Kuliner" per setiap suku mempunyai 3,7 resep, itupun kalau semua suku di Indonesia masuk dalam catatan resep tersebut. Rasanya bisa lebih dari itu, mungkin jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu aneka resep yang belum pernah diangkat atau tidak tercatat sama sekali.
Sangat disarankan buku Mustika Rasa tersedia di perpustakaan-perpustakaan besar di Indonesia. Pejabat, penikmat, pemerhati, pecinta dan para pemangku kepentingan kuliner perlu membaca buku ini, mengingat potensi kuliner di Indonesia sangat banyak apalagi menyadari dari 50 juta bisnis di Indonesia, 50% di antaranya merupakan bisnis kuliner.
Raka Bramasta dari Indra Ketaren
Foto Courtessy of : Santi Andriani-Dinno Baskoro
Jurnalis