image by congerdesign
Ketika makanan menjadi masalah politik, maka yang dikendalikan ada 3 (tiga) macam, yakni proses produksi, distribusi dan konsumsi makanan. Dari seluruh proses perjalanannya, ketiga macam yang di dikendalikan itu menempatkan sistem makanan berada dalam kediktatoran, karena kenyataan pilihan makanan yang ditentukan menempatkan masyarakat jarang memiliki banyak pilihan.
Makanan penting bagi masyarakat dunia. Menurut catatan Laporan Tahunan FAO 2018, rata-rata pengeluaran rumah tangga masyarakat kelas bawah untuk biaya pembelian makanan sekitar 32%, sedangkan bagi masyarakat kalangan menengah ke atas 45% dari total biaya bulanan mereka.
Pertanyaan yang penting yang harus diketahui masyarakat mengenai sistem makanan itu adalah dari mana makanan yang kita makan hari ini berasal, diproduksi oleh siapa saja dan siapa yang menentukan faktor-faktor produksi, distribusi dan konsumsinya.
Data dari FAO menyatakan bahwa 70% produksi ayam di dunia berasal dari produksi di peternakan besar dan 20% berasal dari peternakan kecil. Sisanya 10% dihasilkan dari sistem rumah tangga. Pertanian besar memiliki kekuatan produksi paling besar yang kerap menentukan pangsa pasar, termasuk kekuatan politik.
Dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang ada, perusahaan-perusahaan besar memegang sebagian besar sistem pasar makanan. Baik itu mencakup perluasan total produksi (apakah itu hijauan, pupuk, atau vaksin), mekanisme distribusi dari pabrik sampai ke retailer sampai dengan mengenai proses bagaimana dikonsumsi masyarakat adalah variabel penting dalam menentukan sistem pangan ini.
Itu baru bicara soal industri ayam. Bagaimana soal industri minyak makan (nabati) atau soal import makanan seperti beras, gula, tepung terigu, sapi, ayam, garam, buah-buahan, sayur, dan lain sebagainya. Kesemua itu proses alokasinya di tata oleh kendali politik.
Artinya hanya merek, brand dan origin (pabrik & negara) tertentu yang diperbolehkan masuk dalam sistem pasar makanan Nasional, sehingga wajar masyarakat jarang memiliki banyak pilihan. Malah ada yang mengatakan sistem pangan itu banyak ditunggangi pelaku kartel dalam kepentingan mereka menguasai sistem harga makanan secara Nasional.
Di bawah gagasan liberalisasi pasar terbuka, semakin tinggi urusan makanan menjadi soal politik, semakin banyak pula monopoli yang bersifat rata dan vertikal. Contoh makanan sangat jelas berkembang menjadi sistem monopoli terselubung di semua produk rantai sistem Nasional yang kurang terkontrol karena menjadi alat main para politikus. Kondisi ini hampir umum terjadi di negara-negara berkembang, meskipun di negara-negara maju ada namun sifat monopolinya lebih halus.
Kenyataan eksploitasi ini bukan semata karena ada dominasi penguasaan sistem pangan. Ada dorongan lain untuk melakukannya karena berbagai faktor yang terdapat di lapangan, seperti antara lain masalah distribusi makanan yang menunjukkan ketidakefisienan transportasi sistem secara terpusat.
Selain itu karakteristik pertanian modern yang mengandalkan energi menyebabkan faktor minyak menjadi faktor lain yang menentukan masa depan pangan yang tak terhindarkan terkait dengan pasar harga minyak. Sistem produksi pangan pertanian yang mengandalkan minyak tidak mungkin memiliki masa depan, melihat minyak akan terus menurun selama kurang dari 100 tahun kedepan malah kemungkinan dunia akan sangat kekurangan.
Dengan demikian apapun faktor-faktor itu, gambaran memperlihatkan semakin berkembang orang (atau korporasi) memegang produksi yang berafiliasi dengan kekuasaan politik, semakin terbatas masyarakat bisa berkembang, karena semakin sedikit pilihannya sebagai konsumen. Malah ada yang mengatakan masalah pangan kerap diabaikan seolah-olah itu bukan masalah besar di dunia.
Baru 45 tahun terakhir masyarakat dunia mulai memiliki lebih banyak kesadaran akan pangan yang pada kenyataannya masalahnya bukan hanya tentang kualitas makanan, tetapi masalah keadilan dan kehidupan ekonomi bagi orang-orang yang terlibat di seluruh rantai produksi.
Problematik pangan dalam sistem makanan akan menyebabkan krisis keamanan pangan dalam sistem produksi sehingga tidak akan menciptakan pertumbuhan berkelanjutan bagi para produsen kecil dan akses makanan bagi masyarakat bawah yang berpenghasilan rendah.
Di dunia barat, ada pembicaraan tentang demokrasi pangan (Food Democracy) sebagai tanggapan terhadap perluasan sistem kontrol makanan oleh perusahaan-perusahaan besar yang didukung kekuatan politik sehingga menyebabkan konsumen tidak memiliki keterlibatan apapun dalam sistem pangan. Konsep ini percaya bahwa warga negara memiliki kekuatan untuk menetapkan kebijakan pangan.
Kelompok ini membentuk organisasi dan pergerakan yang beroperasi di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional. Tujuan dari demokrasi pangan adalah untuk memiliki akses ke dalam ketahanan pangan dan dalam menentukan sistem makanan bagi masyarakat. Dengan harga yang wajar, baik untuk kesehatan dan sesuai dengan budaya, demokrasi pangan menekankan keadilan sosial dalam sistem pangan. Mereka percaya bahwa sistem makanan adalah jantung dari proses alur roda demokrasi.
Organisasi demokrasi pangan berbicara tentang hak masyarakat untuk mengakses makanan, teristimewa harus ada sistem yang memungkinkan orang berpenghasilan rendah ikut menentukan. Kenyataannya orang berpenghasilan rendah adalah konsumen utama perusahaan-perusahaan besar tetapi mereka tidak memiliki banyak pilihan. Kelompok masyarakat ini harus memiliki hak untuk mengakses makanan berkualitas.
Sistem politik harus dapat membuat dan mendorong masyarakat, sebagai konsumen, terlibat untuk melihat pentingnya menciptakan sistem pangan yang baik. Masyarakat adalah orang-orang yang punya suara politik yang kuat. Mereka mampu memberi tahu Pemerintah bahwa harus ada kebijakan publik yang akan menciptakan sistem makanan yang baik untuk semua orang. Bukan hanya bagi orang yang punya akses uang, sehingga semua masyarakat dapat mengakses semua pilihan baik bagi makanannya.
Oleh karena itu bisa dikatakan ketika makanan menjadi masalah politik, banyak mencerminkan struktur yang tidak adil dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi makanannya. Ini adalah cermin dari masalah sosial, ekonomi dan politik. Masyarakat sebagai konsumen tidak begitu menghiraukan apakah makanan menjadi masalah politik atau tidak, tapi apakah ada keadilan di dalam sistem makanan itu bagi mereka.
Tabek
Indrakarona Ketaren
Ketika Makanan Menjadi Masalah Politik
Indrakarona KetarenKetika makanan menjadi masalah politik, maka yang dikendalikan ada 3 (tiga) macam, yakni proses produksi, distribusi dan konsumsi makanan. Dari seluruh proses perjalanannya, ketiga macam yang di dikendalikan itu menempatkan sistem makanan berada dalam kediktatoran, karena kenyataan pilihan makanan yang ditentukan menempatkan masyarakat jarang memiliki banyak pilihan.
Makanan penting bagi masyarakat dunia. Menurut catatan Laporan Tahunan FAO 2018, rata-rata pengeluaran rumah tangga masyarakat kelas bawah untuk biaya pembelian makanan sekitar 32%, sedangkan bagi masyarakat kalangan menengah ke atas 45% dari total biaya bulanan mereka.
Pertanyaan yang penting yang harus diketahui masyarakat mengenai sistem makanan itu adalah dari mana makanan yang kita makan hari ini berasal, diproduksi oleh siapa saja dan siapa yang menentukan faktor-faktor produksi, distribusi dan konsumsinya.
Data dari FAO menyatakan bahwa 70% produksi ayam di dunia berasal dari produksi di peternakan besar dan 20% berasal dari peternakan kecil. Sisanya 10% dihasilkan dari sistem rumah tangga. Pertanian besar memiliki kekuatan produksi paling besar yang kerap menentukan pangsa pasar, termasuk kekuatan politik.
Dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang ada, perusahaan-perusahaan besar memegang sebagian besar sistem pasar makanan. Baik itu mencakup perluasan total produksi (apakah itu hijauan, pupuk, atau vaksin), mekanisme distribusi dari pabrik sampai ke retailer sampai dengan mengenai proses bagaimana dikonsumsi masyarakat adalah variabel penting dalam menentukan sistem pangan ini.
Itu baru bicara soal industri ayam. Bagaimana soal industri minyak makan (nabati) atau soal import makanan seperti beras, gula, tepung terigu, sapi, ayam, garam, buah-buahan, sayur, dan lain sebagainya. Kesemua itu proses alokasinya di tata oleh kendali politik.
Artinya hanya merek, brand dan origin (pabrik & negara) tertentu yang diperbolehkan masuk dalam sistem pasar makanan Nasional, sehingga wajar masyarakat jarang memiliki banyak pilihan. Malah ada yang mengatakan sistem pangan itu banyak ditunggangi pelaku kartel dalam kepentingan mereka menguasai sistem harga makanan secara Nasional.
Di bawah gagasan liberalisasi pasar terbuka, semakin tinggi urusan makanan menjadi soal politik, semakin banyak pula monopoli yang bersifat rata dan vertikal. Contoh makanan sangat jelas berkembang menjadi sistem monopoli terselubung di semua produk rantai sistem Nasional yang kurang terkontrol karena menjadi alat main para politikus. Kondisi ini hampir umum terjadi di negara-negara berkembang, meskipun di negara-negara maju ada namun sifat monopolinya lebih halus.
Kenyataan eksploitasi ini bukan semata karena ada dominasi penguasaan sistem pangan. Ada dorongan lain untuk melakukannya karena berbagai faktor yang terdapat di lapangan, seperti antara lain masalah distribusi makanan yang menunjukkan ketidakefisienan transportasi sistem secara terpusat.
Selain itu karakteristik pertanian modern yang mengandalkan energi menyebabkan faktor minyak menjadi faktor lain yang menentukan masa depan pangan yang tak terhindarkan terkait dengan pasar harga minyak. Sistem produksi pangan pertanian yang mengandalkan minyak tidak mungkin memiliki masa depan, melihat minyak akan terus menurun selama kurang dari 100 tahun kedepan malah kemungkinan dunia akan sangat kekurangan.
Dengan demikian apapun faktor-faktor itu, gambaran memperlihatkan semakin berkembang orang (atau korporasi) memegang produksi yang berafiliasi dengan kekuasaan politik, semakin terbatas masyarakat bisa berkembang, karena semakin sedikit pilihannya sebagai konsumen. Malah ada yang mengatakan masalah pangan kerap diabaikan seolah-olah itu bukan masalah besar di dunia.
Baru 45 tahun terakhir masyarakat dunia mulai memiliki lebih banyak kesadaran akan pangan yang pada kenyataannya masalahnya bukan hanya tentang kualitas makanan, tetapi masalah keadilan dan kehidupan ekonomi bagi orang-orang yang terlibat di seluruh rantai produksi.
Problematik pangan dalam sistem makanan akan menyebabkan krisis keamanan pangan dalam sistem produksi sehingga tidak akan menciptakan pertumbuhan berkelanjutan bagi para produsen kecil dan akses makanan bagi masyarakat bawah yang berpenghasilan rendah.
Di dunia barat, ada pembicaraan tentang demokrasi pangan (Food Democracy) sebagai tanggapan terhadap perluasan sistem kontrol makanan oleh perusahaan-perusahaan besar yang didukung kekuatan politik sehingga menyebabkan konsumen tidak memiliki keterlibatan apapun dalam sistem pangan. Konsep ini percaya bahwa warga negara memiliki kekuatan untuk menetapkan kebijakan pangan.
Kelompok ini membentuk organisasi dan pergerakan yang beroperasi di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional. Tujuan dari demokrasi pangan adalah untuk memiliki akses ke dalam ketahanan pangan dan dalam menentukan sistem makanan bagi masyarakat. Dengan harga yang wajar, baik untuk kesehatan dan sesuai dengan budaya, demokrasi pangan menekankan keadilan sosial dalam sistem pangan. Mereka percaya bahwa sistem makanan adalah jantung dari proses alur roda demokrasi.
Organisasi demokrasi pangan berbicara tentang hak masyarakat untuk mengakses makanan, teristimewa harus ada sistem yang memungkinkan orang berpenghasilan rendah ikut menentukan. Kenyataannya orang berpenghasilan rendah adalah konsumen utama perusahaan-perusahaan besar tetapi mereka tidak memiliki banyak pilihan. Kelompok masyarakat ini harus memiliki hak untuk mengakses makanan berkualitas.
Sistem politik harus dapat membuat dan mendorong masyarakat, sebagai konsumen, terlibat untuk melihat pentingnya menciptakan sistem pangan yang baik. Masyarakat adalah orang-orang yang punya suara politik yang kuat. Mereka mampu memberi tahu Pemerintah bahwa harus ada kebijakan publik yang akan menciptakan sistem makanan yang baik untuk semua orang. Bukan hanya bagi orang yang punya akses uang, sehingga semua masyarakat dapat mengakses semua pilihan baik bagi makanannya.
Oleh karena itu bisa dikatakan ketika makanan menjadi masalah politik, banyak mencerminkan struktur yang tidak adil dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi makanannya. Ini adalah cermin dari masalah sosial, ekonomi dan politik. Masyarakat sebagai konsumen tidak begitu menghiraukan apakah makanan menjadi masalah politik atau tidak, tapi apakah ada keadilan di dalam sistem makanan itu bagi mereka.
Tabek
Indrakarona Ketaren